Di kebanyakan perusahaan, proses pengembangan produk baru sering melibatkan beberapa departemen fungsional yang berbeda. Departemen marketing mungkin datang dengan ide produk baru sesuai hasil riset pasar. Berdasarkan hasil riset pasar tersebut, departemen R&D akan melakukan riset-riset yang dibutuhkan. Hasil riset kemudian dilempar ke bagian engineering untuk perancangan produk. Hasil rancangan tersebut akan diserahkan ke bagian manufacturing yang bertugas memproduksi hasil rancangan dalam skala masal. Untuk membeli bahan-bahan produksi yang dibutuhkan, bagian manufacturing sering harus berpaling ke departemen purchasing.
Kita bisa melihat bagaimana proses pengembangan produk baru sebenarnya membutuhkan kerja sama banyak bidang fungsional dalam sebuah organisasi. Pembagian departemen seperti di atas memang dibutuhkan agar masing-masing departemen bisa mengembangkan efisiensi dalam melaksanakan fungsinya. Tetapi kala sebuah proyek membutuhkan kerja sama yang kontiniu dan intens, kita akan menemukan kelemahan karena masing-masing departemen lebih suka bersaing untuk mendapatkan kredit atas keberhasilan dan mencari kambing hitam di departemen lain untuk kegagalan.
Kelemahan ini sering terlihat dalam proyek-proyek pengembangan produk baru. Sebagai contoh, hasil rancangan dari bagian engineering kadang sulit diproduksi masal karena ada komponen yang sulit diperoleh. Akibatnya, rancangan tersebut harus dikembalikan ke engineering agar komponen lain bisa dipergunakan. Penggantian komponen ternyata mengakibatkan produk tidak bisa bekerja optimal, sehingga bagian engineering harus meminta bantuan R&D. Ketika engineering menerima solusi dari R&D, mereka harus mengembalikan hasil rancangan baru kemanufacturing dan purchasing. Siklus tersebut sering memakan waktu yang tidak diperlukan dan memperlambat waktu peluncuran. Belum lagi bila penundaan tersebut berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh para kompetitor untuk masuk duluan.
Kala waktu sudah menjadi salah satu faktor persaingan yang penting, pendekatan yang lebih baik dalam pengembangan produk baru harus diambil. Untuk itu, kita harus berpaling ke perusahaan-perusahaan Jepang yang melibatkan seluruh departemen dari awal sebagai sebuah tim. Bukan itu saja, kadang mereka juga melibatkan para pemasok dan subkontraktor dari awal sehingga semua masalah yang ada bisa didiskusikan dan diselesaikan sejak awal. Seluruh departemen juga bisa memulai pekerjaan mereka tanpa harus menunggu departemen lainnya. Purchasing, misalnya, sudah bisa mulai mencari pemasok tanpa harus menunggu engineeringmenyelesaikan rancangan mereka karena sedikit banyak bagian purchasing sudah mengetahui komponen-komponen apa yang sudah pasti akan dipakai. Bagianmanufacturing juga sudah bisa mulai melakukan setup mesin atau mencari mesin-mesin baru. Para subkontraktor yang dilibatkan mungkin bisa membantu membangunprototype atau mempersiapkan mesin mereka untuk melayani pesanan yang akan dikerjakan nantinya. Dengan melibatkan semua pihak-pihak yang terkait secepatnya, salah paham di belakang hari bisa dihindari dan masa pengembangan produk baru bisa dipersingkat.
Pendekatan semacam itu dikenal dengan nama concurrent engineering. Ingersoll-Rand yang mengembangkan alat-alat bantu untuk para insinyur proyek pernah masuk ke jurang krisis ketika produk-produknya dianggap ketinggalan jaman. Untunglah perusahaan ini bersedia mengambil langkah berani dengan mencoba pendekatanconcurrent engineering. Mereka juga melibatkan beberapa pembeli dan para subkontraktor dalam proyek baru mereka. Alhasil, Ingersoll-Rand bukan saja berhasil mengembangkan produk-produk baru yang menjadi hits di pasaran, tetapi berhasil juga bangkit menjadi perusahaan yang disegani di industri yang mereka terjuni.
Memang harus diakui, concurrent engineering ini sangat membantu dalam memangkas waktu pengembangan. Akan tetapi ketika beberapa kelompok yang berbeda disatukan, masalah-masalah pasti terjadi, terutama yang berkaitan dengan kepercayaan. Masalah akan menjadi semakin pelik bila yang terlibat adalah dua perusahaan yang berbeda. Ketika Vistakon, anak perusahaan Johnson & Johnson, meminta bantuan Nypro untuk mengembangkan lensa kontak sekali pakai ACUVUE, kedua perusahaan terlibat dalam proyek concurrent engineering karena Vistakon ingin mendahului para kompetitornya yang juga ingin masuk ke kategori produk yang sama. Meski kedua perusahaan berangkat dengan niat baik, salah paham tetap terjadi. Nypro, misalnya, takut bila Vistakon berhasil mengetahui rahasia proses mereka dan bila ada karyawan Vistakon yang pindah ke kompetitor Nypro, rahasia tersebut akan bocor. Nypro juga kuatir bila Vistakon mengetahui struktur biaya proyek tersebut dari sisi Nypro, Vistakon akan memakai informasi tersebut untuk meminta potongan harga dari Nypro. Selain itu, budaya perusahaan yang berbeda sering menjadi sumber konflik juga. Untunglah masalah-masalah tersebut berhasil diselesaikan dan ACUVUE berhasil dikembangkan sesuai dengan rencana.
Concurrent engineering jelas merupakan sebuah konsep yang sangat baik dalam membantu pengembangan produk baru. Para anggota kelompok dari fungsi yang berbeda bisa melihat masalah dan peluang dari berbagai sudut. Partisipasi dari pihak-pihak luar seperti lead users, pemasok dan subkontraktor semakin menambah jumlah ide-ide kreatif untuk diolah. Tetapi agar pendekatan ini bisa berjalan mulus, pihak perusahaan harus belajar cara-cara penanganan konflik dan menjalankan upaya-upaya membangun trust dan relationships dengan pihak-pihak luar yang ikut serta.
artikel CE nya yang komplit dong mas
ReplyDelete